Kamis, November 15, 2018

Cerpen Menjahit Gelombang


Menjahit Gelombang
Karya: Merza E Pellondou
Pernah terbit di Harian 
Kompas Edisi Minggu 22 November 2015


Dunia Sastra || Kami berciuman di atas gelombang yang dahsyat ketika kapal cepat yang kami tumpangi menuju Rote membelah Selat Pukuafu. Ya, kami berciuman. Benar-benar berciuman sambil memandang kedahsyatan gelombang yang kami yakini cuma sementara karena setelah melewati Pukuafu, di depan kami akan terhampar lautan luas yang tenang dengan jejeran bakau, kelapa, serta batu Termanu yang terkenal eksotik itu. Ciuman dan gelombang benar-benar gambaran kehidupan kami berdua yang sesungguhnya. Dan lautan yang tenang dengan kekayaan bakau, kelapa, dan kekokohan batu Termanu merupakan impian kami di masa depan.

Sebenarnya aku seorang gadis perawan kelahiran Rote, pulau paling selatan Indonesia. Dalam darahku mengalir dengan deras semua adat Rote, termasuk keterbukaan dan keberanian meminta maaf jika pernah mengalami masa lalu yang pahit bersama orang lain atau sebaliknya, keberanian untuk berkukuh dengan prinsip dan keputusan yang sudah diambil tanpa bisa dipengaruhi oleh siapa pun, apa pun, termasuk oleh dahsyatnya gelombang Pukuafu.

Sementara laki-laki di depanku ini, yang lima menit lalu telah berciuman denganku, adalah seorang pemuda kelahiran Pulau Sabu yang juga memegang teguh adat dan budayanya, dan makna ciuman telah melekat dan mendarah daging dalam dirinya sebagai bentuk maaf yang paling tinggi, tulus, dan suci untuk dihargai. Ya, aku telah berkeputusan untuk terbuka dan berani memaafkan dan menerima maaf dari laki-laki Sabu ini dengan harga yang sangat mahal dan tulus, yaitu berupa sebuah ciuman. Ciuman adat. Bukan ciuman sepasang muda-mudi yang dimabuk cinta. Selain kami sudah tidak terbilang muda lagi, kami memang bukan sepasang kekasih. Justru sebaliknya, sepasang musuh, dan ciuman telah memerdekakan kami.

”Bagaimana kabar Ina Yuli?” aku membuka percakapan untuk mencairkan kebekuan ini.

”Sudah meninggal, kami baru memakamkannya seminggu yang lalu. Hari ini aku harus kembali ke Rote karena besok aku harus kembali bekerja.”

”Jadi....”

”Ya, aku sudah bekerja menjadi pegawai negeri sipil di Rote. Sejak mama memutuskan kembali ke tanah kelahiran kami di Sabu Mesara, aku menemaninya dan kuputuskan tetap bersamanya sampai ajal menjemput. Namun, ajakan hidupku sudah digariskan Tuhan, aku lulus tes PNS dan ditempatkan di Rote. Kutinggalkan Sabu dengan mama yang berat melepaskanku. Sejak itu mama sakit-sakitan dan kami belum lama memakamkannya. Maafkan aku, kalau aku terlihat cengeng di depanmu.”

Aku meneteskan air mata. Ibu lelaki itu telah meninggal dan dimakamkan seminggu lalu? Berarti orang tua itu meninggal di usia yang renta. Dan lelaki ini telah menetap di Rote.

”Bagaimana dengan Teo Lin?” lelaki itu telah menanyakan tentang ibuku sebelum aku sempat menyatakan turut berdukacita atas kematian ibunya.

”Aku turut berduka atas kematian Ina Yuli. Ibu juga sudah meninggal lebih cepat dari Ina Yuli, tepatnya ibuku meninggal saat aku menamatkan sekolah menengah pertama.

”Wah, sudah lama sekali.”

Aku mengangguk dan memandang wajah lelaki itu. Tampak satu-dua kerutan di bawah matanya.

”Ya, sudah lama dan itu berarti kita sudah semakin tua,” kataku lepas begitu saja.

”Ya, dan kita bahagia dengan keluarga kita masing-masing. Bukankah begitu?” tanya laki-laki itu sambil tidak memandang padaku, namun matanya mencoba membaca langit serta ujung cakrawala di depan kami seakan dia bisa menemukan jawaban atas pertanyaannya di sana.

”Hei, kenapa diam?”

Laki-laki itu kembali bertanya, dan aku sibuk memikirkan kata-kata yang pantas untuk sebuah jawaban yang sopan pada laki-laki ini.

”Ya, aku dan papa sangat bahagia. Walau kami cuma berdua dan kondisi papa sakit-sakitan, dan sebagai anak semata wayangnya aku yang merawatnya, namun aku sangat bahagia” kataku jujur.

”Jadi papa ikut kamu? Bagaimana dengan rumah besar?”

”Tidak! Justru selamanya aku yang terus ikut papa. Percaya atau tidak, aku belum menikah hingga sekarang.”

Betapa terenyaknya diriku saat aku juga mendapati bahwa laki-laki di depanku ini juga sama dengan diriku, melajang hingga detik ini.

”Apa artinya pernikahan buatmu?”

Laki-laki itu bertanya perlahan dan aku menanggapinya dengan jujur. Mungkinkah sebuah pertanyaan bisa menjadi alasan yang melilit lelaki itu hingga belum berani memutuskan menikah hingga detik ini? Aku mencoba tersenyum sebelum menjawab pertanyaan itu.

”Menikah bagi saya adalah membentuk keluarga bahagia bersama orang yang saya cintai, keluarga yang taat pada agama dan adat, serta memiliki anak untuk melanjutkan keturunan.”

Lelaki itu memandang ke laut lepas. Nyaris tidak percaya masih ada alasan sesuci itu untuk sebuah pernikahan bagi perempuan modern.

”Jangan lupa, aku masih tetap seorang perempuan Rote. Gadis Rote yang taat pada adat dan agama. Nenek moyangku mengajarkan hal terbaik soal pernikahan dan itu kuagung-agungka
n hingga sekarang.”

”Mungkinkah aku bisa melamarmu untuk maksud baikmu itu? Itu juga impianku.”

”Jangan! Aku menerima ciumanmu bukan untuk sebuah lamaran pernikahan, namun untuk sebuah dendam masa lalu orangtua kita yang harus diakhiri.”

Laki-laki itu mengalihkan pandangannya dari laut lepas ke bola mataku yang terlihat protes.

”Jangan dipikirkan,” katanya perlahan, namun sempat menghentikan debaran jantungku. Mungkinkah ia tidak memiliki perasaan apa-apa padaku? Mungkinkah aku harus jujur bahwa sejak kita kecil dulu... aku sudah sangat mengasihinya dan tidak ingin kehilangan dirinya? Jika perasaan masa kecil dulu berbeda warnanya dengan perasaanku sekarang, mungkinkah itu tetap membuatku tidak kehilangan dia?

Laki-laki itu tersenyum.

”Kenapa? Ada yang lucu?”

”Lihatlah itu,” laki-laki itu menunjuk kepada seorang perempuan kecil berusia sekitar 8 tahun sedang menggendong seorang anak laki-laki kecil sekitar 3 tahun.

”Mungkinkah itu bisa membuka kenanganmu tentang aku?”

Debaran di jantungku makin kencang mengingat laki-laki itu selalu menyimpan kenangan itu dalam hatinya.

”Benarkah kamu masih mengingat semuanya itu?”

Laki laki itu berbinar.

”Janganlah ingatkan aku hal itu. Aku takut terikat pada kenangan itu!”

”Kenapa?” laki laki itu menyentuhku dengan tatapannya yang lembut.

”Kenangan itu telah membuatku selalu hidup.”

”Benarkah?”

”Dan aku tidak percaya kamu masih tetap ada untuk aku.”

”Yakinkah kau akan hal itu?”

”Entah mengapa aku selalu percaya, di hari tuaku nanti, aku akan mengulangi masa-masa bersamamu seperti halnya masa kecil kita itu.”

”Hm..tapi…”

”Jangan khawatir aku tidak ingin minta digendong. Justru aku telah siap menjaga dan melindungimu.”

Kami pun tertawa bersama. Membuatku melupakan banyak hal. Mungkinkah ini sebuah mimpi? Apakah hidup sedang meminjamkan padaku waktu untuk aku kembali ke masa laluku?

Aku selalu ingat. Siang itu. Siang yang sangat mencekik di bulan Oktober. Dua orang perempuan dewasa yang sebaya sedang menumbuk padi, ditemani dua orang anak kecil. Seorangnya lelaki kecil berusia 3 tahun, berada dalam gendongan gadis kecil berusia 8 tahun. Lelaki kecil itu terus menangis, sementara dua perempuan dewasa yang sebaya itu terus saja menumbuk padi. Belum ada sebutir padi pun telah menjadi beras sehingga tidak ada yang bisa dimakan hari itu. Tiba-tiba gadis kecil itu bangkit dari duduknya hendak mengambil air buat lelaki kecil dalam gendongannya. Gadis itu terjatuh dan lelaki kecil itu terlepas dari gendongannya, kepala kedua anak itu membentur tanah.

”Hei, kamu jahat, kenapa kamu jatuhkan adikmu,” salah seorang dari perempuan dewasa itu memekik lantang. Perempuan itu adalah ibu lelaki kecil yang terjatuh itu.

”Bukan... adik… adik terjatuh. Bukan maksudku menjatuhkan...,” gadis kecil itu tertatih menjawab.

”He, kamu beraninya melawan? Ini anak laki-laki saya, seenaknya saja kamu jatuhkan,” perempuan dewasa itu telah berteriak mengangkat lelaki kecil anaknya yang meledak tangisnya, bukan karena jatuh, tetapi karena suara ibunya sangat memekakkan telinga.

”Hei, kamu beraninya membentak anak saya. Ini anak perempuan saya satu-satunya, seenaknya saja kamu bentak. Bagaimanapun dia telah menggendong anakmu,” ibu gadis kecil itu tersinggung dan ikut lantang.

”Siapa yang memintanya menggendong anakku? Dia sendiri kan? Digendong untuk dijatuhkan!” ibu lelaki kecil itu memeluk anaknya lebih erat dan memunggungi sang gadis kecil dan ibunya. Suasana itu semakin memanas dan si gadis kecil menangis memohon-mohon agar ibu lelaki kecil itu percaya bahwa dia tidak bermaksud menjatuhkan lelaki kecil itu.

”Sudahlah, Nak, pergilah dari sini, biar ibu yang akan menjelaskannya. Mungkin dengan cara begini perempuan ini bisa paham.”

Dan bruuk!

Ibu si gadis kecil itu telah melempari punggung ibu lelaki kecil itu dengan batu pemecah jerami. Wanita itu ambruk, berdarah, dan si gadis kecil itu berlari mengambil si lelaki kecil dari gendongan ibunya yang ambruk. Mereka berdua bersembunyi di antara tumpukan jerami. Hingga akhirnya polisi menemukan kedua bocah itu. Orang-orang melarikan ibu lelaki kecil itu ke rumah sakit.

Matahari memanggang di atas 30 derajat. Ibu gadis kecil itu digiring ke penjara setelah menjalani persidangan pengadilan. Sejak saat itu kedua bocah itu dipisahkan oleh dendam kedua ibunya yang tidak pernah berakhir.

”Hei… sejak tadi telah berada di depanku tetapi seperti tiada.”

Aku dikejutkan oleh suara lelaki yang masih setia di depanku.

”Ayo turun, kita sudah sampai. Lihat kapal telah bersandar, dan semua orang sedang antre di pintu keluar. Ayolah.”

”Apa yang sedang kamu pikirkan?”

”Sepanjang perjalanan ini aku memikirkan tentang kita.”

”Katakan sesuatu,” desakku berdebar.

”Seberapa dalam kamu telah mengampuni aku dan keluargaku?”

Debaran di hatiku memanjang lirih.

”Seberapa dalam menurutmu?” aku berdebar mengembalikan pertanyaan itu.

”Kamu tidak bersalah telah menjatuhkan aku dari gendonganmu. Itu peristiwa biasa.” lelaki itu telah berbicara serius.

”Ya, itu peristiwa biasa. Yang luar biasa adalah cinta ibumu padamu.”

”Tapi, semua itu telah membuat ibumu terluka dan ibuku masuk penjara,” aku memelas.

”Jadi seberapa dalam kamu telah mengampuni peristiwa masa lalu itu?” aku lanjutkan ucapanku.

”Satu ciuman kita tadi adalah bukti bahwa kita berdua telah mengampuni peristiwa masa lalu itu sebanyak tujuh puluh kali tujuh kali.”

”Tujuh puluh kali tujuh kali?”

”Ya, tujuh puluh kali tujuh kali, ampunilah orang lain.”

Rote terlihat begitu letih. Orang-orang masuk keluar wilayah terselatan Indonesia ini dengan kepentingannya masing-masing. Para pelancong dari mancanegara yang hendak berselancar di pantai Nemberalla yang terkenal itu, bahkan hingga manusia-manusia perahu yang sering tertangkap di pintu gerbang selatan ini.

Berdua, aku dan lelaki ini menginjakkan kaki di tanah Rote. Ini bukan yang pertama bagi kami, namun sesungguhnya ini yang pertama untuk kemerdekaan kami. Semoga selamanya demikian, kami jangan lagi keletihan oleh dendam masa lalu. Tujuh puluh kali tujuh kali, kami telah dimerdekakan….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.